Friday, May 17, 2013

Kisah Seorang Sarjana Pertanian di Negara AGRARIS


13687573971578893288
Pak Sapto dan Darmawan (3 th) yang terkulai di setang sepeda, ditutupi kresek hitam agar tak kehujanan. (foto by Warta Kota/Adhy Kelana)


Saya melihat berita ini melalui kompasiana.com. Maysya Allah.... Nurani saya memanggil-manggil begitu melihat isi tautan itu. Rasa iba dan kasihan melihat gambar seorang bapak tengah mengayuh sepeda ontelnya, sementara di dekat  setang sepeda,  ada sepasang kaki mungil yang terkulai. Badan dan wajahnya tak kelihatan karena tertutup plastik kresek hitam.

Kebetulan caption untuk foto itu tidak detail, hanya berisi informasi bahwa anak itu sakit, tapi bapaknya tak punya uang.  Saya langsung terbayang jika saya memiliki anak. Ketika  sakit, mereka pasti butuh kehangatan dan  perhatian lebih. Saya akan terus berada di sisinya, menawarkan mau makan apa? Lha ini diletakkan begitu saja di setang sepeda.

Welll… pada saat yang sama, di Kaskus berkembang thread tentang foto ini. Belakangan kabarnya, orang Kemensos sudah datang untuk “mengatasi masalah”.  Saya pun lega. Kemarin pagi, foto yang sama muncul di Kompas.com. Keterangannya lebih detail. Diceritakan bahwa memang anak itu, Darmawan Santosa (3 tahun) memang sakit, tapi tidak parah. Anak itu sehari-hari ikut ayahnya, Sapto, yang bekerja menjual burung dan ikan hias keliling di sekitar tempat tinggalnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Bahkan dalam keadaan sakit sekalipun, Darmawan selalu dibawa serta oleh Pak Sapto. Ini harus dilakukan karena sehari tidak berjualan, maka tak akan mendapat penghasilan. Berarti tak bisa makan dan memenuhi kebutuhan lain. Sedangkan  istrinya, Yunita, juga bekerja menjadi penjual susu fermentasi keliling, yang lebih tak memungkinkan untuk membawa serta anaknya. Darmawan adalah anak terkecil dari 5 bersaudara. Anak terbesar Pak Sapto baru habis mengikuti Ujian Nasional jenjang SMK.

Belakangan yang lebih membuat saya terkejut adalah pak Sapto adalah seorang sarjana. Dia lulus program S1 dari Jurusan Fakultas Pertanian Universitas Slamet Riyadi Solo. Lebih dari itu, ini adalah  ironi yang patut menjadi bahan kontemplasi kita bersama. Bayangkan, seorang sarjana pertanian, tak bisa hidup dengan memanfaatkan keahliannya di negara yang bertitel AGRARIS ini. Malah berjualan burung dan ikan hias kelilingan?

Apa boleh dikata,  fenomena pengangguran terselubung seperti ini memang jamak ditemui di masyarakat kita. Makin menguatkan bukti bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita.
Atau mungkin Pak Sapto adalah seorang yang kurang beruntung, atau barangkali malah dia sangat  idealis?Makanya dia tersingkir dari bursa lapangan kerja.  Atau tak punya modal untuk bisnis yang lebih layak? Sehingga alih-alih mendapat kerjaan yang layak, dia pilih berbisnis kecil-kecilan seperti itu, walau sebagai konsekuensinya dia harus hidup sangat pas-pasan.

Sementara ketika di luar didengung-dengungkan bahwa ekonomi kita tumbuh sangat bagus, di atas 6%, ITU HANYA ANGKA!!. Kenyataannya, kehidupan masyarakat kita makin sulit saja.  Karena tak ada anggaran untuk ke dokter, Pak Sapto dan keluarganya  pun lebih akrab bahkan sudah terbiasa dengan obat-obatan tradisional. Seperti ketika Darmawan sakit, dia hanya diberi sirih yang direbus dengan air hangat, lantas diminumkan.

Bagaimanapun di mata saya Pak Sapto adalah orang yang hebat. Dia suami yang bertanggungjawab. Dia   berbagi tugas  dengan istrinya,  memilih membawa si kecil Darmawan kemana-mana. Dia  juga ayah yang sangat mulia, lembut dan penuh kasih sayang. Walau yang dilakukan hanya sebatas kemampuannya. Ketika tak ada mobil untuk melindungi si kecil dari hujan, dia menggantinya dengan  tas kresek yang lebar agar Darmawan tak kehujanan.

Sungguh hidup yang terlalu keras untuk orang yang pernah lulus dari bangku perguruan tinggi.
Semoga Tuhan melindungi setiap langkahmu, Pak Sapto…

No comments:

Post a Comment